Rabu, 25 November 2009

PUTUSAN MA MENGENAI UJIAN NASUONAL (UN)


Perkara ini bermula dari "citizen lawsuit" (gugatan warga negara) yang diajukan Kristiono dan kawan-kawan terhadap presiden, wakil presiden, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua BSNP yang dinilai lalai memenuhi kebutuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang pendidikan.

Pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan tersebut diterima. Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan itu pada 6 Desember 2007. Pemerintah lalu mengajukan kasasi ke MA.

Akhirnya, MA melarang UN yang digelar Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sebab kasasi gugatan UN yang diajukan pemerintah ditolak MA. MA memutuskan menolak kasasi perkara itu dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 yang diputus pada 14 September 2009.
Mahkamah Agung (MA) memutuskan bahwa Ujian Nasional (UN) cacat hukum dan pemerintah dilarang menyelenggarannya.Mahkamah Agung menolak permohonan pemerintah terkait perkara ujian nasional, dalam perkara Nomor : 2596 K/Pdt/2008 dengan para pihak Negara RI cq Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono; Negara RI cq Wakil Kepala Negara, Wakil Presiden RI, M. Jusuf Kalla; Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo; Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional cq Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, Bambang Soehendro melawan Kristiono, dkk (selaku para termohon Kasasi dahulu para Penggugat/para Terbanding).

Dalam amar putusan tersebut dinyatakan : “Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi : I. Negara RI cq Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono; II. Negara RI cq Wakil Kepala Negara, Wakil Presiden RI, M. Jusuf Kalla; III. Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo; dan IV. Negara RI cq Presiden RI cq Menteri Pendidikan Nasional cq Ketua Badan standar Nasional Pendidikan, Bambang Soehendro, tersebut.

Putusan ini diucapkan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Senin tanggal 14 September 2009, dengan Majelis Hakim H. Abbas Said, SH selaku Ketua Majelis; H. Mansyur Kartayasa, SH, MH dan R. Imam Harjadi, SH, selaku anggota, serta Tuty Haryati, SH, MH sebagai Panitera Pengganti dalam sidang terbuka untuk umum, pada hari itu juga.

Dalam putusannya, para tergugat, yakni Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), dinyatakan lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) terhadap warga negara, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak yang menjadi korban UN.

Pemerintah juga dinilai lalai meningkatkan kualitas guru, terutama sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah sebelum melaksanakan kebijakan UN.

Pemerintah diminta pula untuk segera mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik usia anak akibat penyelenggaraan UN.
Namun, karena pentingnya pelaksanaan ujian ini, DPR meminta agar Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) kembali mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

"Perlu dikaji secara mendalam mengenai standar nasional mutu dari UN itu sendiri. Tapi dengan adanya putusan MA ini, secara hukum memang terganjal. Jadi Diknas harus segera ajukan PK," ujar Anggota Komisi X Rully Chairul Azwar kepada okezone melalui telepon, Kamis (26/11/2009).
namun menurut BNSP menilai putusan MA ini tidak memberi pengaruh untuk melaksanakan UN pada tahun 2010 hal ini di sampaikan anggota BNSP Prof Mungin Eddy Wibowo "Kami akan tetap menyelenggarakan UN pada 2010 sesuai dengan jadwal yang ditetapkan dan hal itu juga telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan," enurut dia, sesuai dengan amanat PP Nomor 19/2005 tersebut, BSNP berkewajiban untuk menyelenggarakan UN bekerja sama dengan berbagai pihak, antara lain pemerintah, pemerintah daerah, setiap satuan pendidikan, termasuk kalangan perguruan tinggi. Penyelenggaraan UN 2010 menurut dia, juga didasari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 75/2009 tentang UN tingkat SMA dan SMP, serta Permendiknas Nomor 74/2009 tentang Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) untuk SD. Ia mengatakan, sesuai PP Nomor 74/2009 tersebut, UN tingkat SMA, MA, dan SMK 2010 akan diselenggarakan pada minggu ketiga Maret 2010 mendatang, sedangkan UN untuk SMP akan diselenggarakan satu minggu setelah pelaksanaan UN tingkat SMA, MA, dan SMK. "Kami memang mengakui dalam penyelenggaraan UN terdapat berbagai tindak kecurangan, namun kami tetap melakukan evaluasi dan perbaikan berkaitan dengan penyelenggaraan UN setiap tahunnya," kata guru besar Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu. Berkaitan dengan putusan MA itu, Mungin mengatakan, pihaknya akan mempelajari putusan MA terkait penolakan kasasi perkara UN yang diajukan pemerintah, sebab pihaknya hingga saat ini belum mendapatkan salinan resmi putusan MA tersebut.
kita tunggu apa langkah MA dan DIKNA mengenai hal ini.
(dari berbagai sumber).

Selasa, 21 April 2009

Kekerasan, Bahasa "Disiplin" ala Sekolah


Kekerasan terhadap murid tengah tumbuh menjadi citra baru tentang kekerasan dalam dunia pendidikan, yang diwakili oleh iklan penyelenggara jasa telepon seluler. Murid yang bersalah diharuskan menulis puluhan kali dan setelah itu berdiri dengan satu kaki di depan kelas, sementara kedua tangannya memegang telinga selama pelajaran berlangsung.
Citra pendidikan semacam itu adalah citra lama pendidikan di Tanah Air yang memberikan dampak kurang baik terhadap proses belajar-mengajar. Iklan itu mengulang cerita lama tentang sekolah zaman dulu, yang guru-gurunya gemar memberikan hukuman fisik kepada murid dengan cara lari mengelilingi halaman sekolah beberapa kali, membersihkan kamar mandi sekolah, atau memukuli jari-jari tangan murid dengan penggaris. Iklan tersebut memberikan kesempatan kepada guru untuk menemukan alasan pembenar terhadap hukuman fisik yang diberikan kepada muridnya.
Tiga siswa SMP Negeri 3 Babelan, Kabupaten Bekasi, yang dipukuli oleh teman-temannya sendiri-atas perintah guru wali kelasnya-karena tidak memakai badge identitas sekolah adalah realitas. Kasus kekerasan terhadap murid yang hampir serupa dengan yang dialami tiga siswa SMP Negeri 3 Babelan tersebut diyakini masih dipraktikkan oleh sebagian guru di berbagai pelosok di Tanah Air; tidak hanya di pedesaan, tetapi juga perkotaan. Apalagi sekolah-sekolah yang terletak di lingkungan sosial yang terlalu memercayakan penuh pendidikan kepada guru atau sekolah.
TERJADINYA kekerasan terhadap murid tidak lepas dari rendahnya bentuk pemahaman tentang kekerasan serta ketidakmampuan guru dalam menangkap dampak dari setiap kekerasan yang dilakukan.
Mestinya, sebagai seorang pendidik, guru memahami unsur-unsur negatif yang dibawa oleh perbuatan yang penuh dengan kekerasan. Mendisiplinkan murid sejak dini bagi murid SD, misalnya, tidak cukup dan tidak tepat dengan memberikan pekerjaan rumah yang jumlahnya lebih dari 75 soal. Atau menghukum murid kelas III SD dengan cara berdiri di depan kelas dengan mengangkat satu kaki dan kedua tangan memegang telinga, seperti yang terjadi di sebuah SD di Yogyakarta belum lama ini.
Hukuman-hukuman fisik semacam itu tidak akan membuat efek jera bagi siswa atau murid. Hukuman itu malah menumbuhkan perasaan benci dan tidak hormat kepada guru yang bersangkutan. Sebab, siswa memiliki kesempatan yang cukup luang untuk bercerita kepada teman-temannya tentang "kesuksesannya" membuat guru yang bersangkutan marah sekaligus merendahkannya dalam citra yang diceritakan oleh siswa bersangkutan kepada orang lain.
Fenomena semacam ini seharusnya dicermati oleh orangtua dan komite sekolah. Orangtua punya hak untuk mempertanyakan dan menyampaikan keberatan terhadap proses pendidikan dan ajaran yang tidak sesuai dengan napas pembelajaran. Sebab, sekolah bukan sarana untuk mengajari murid bagaimana menghukum dan mengadili orang-orang yang bersalah.
Kita semua sepakat bahwa kesalahan yang dilakukan oleh murid terkadang pantas mendapatkan hukuman. Namun, jenis hukuman itulah yang seharusnya disesuaikan dengan lingkungan sekolah sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran, bukan penghakiman apalagi pengasingan.
Kasus di SMP Negeri 3 Babelan tidak akan pernah menjadi pelajaran berharga bagi para guru jika pada akhirnya kesalahan hanya ditimpakan kepada guru yang bersangkutan. Seharusnya, kepala sekolah ikut bertanggung jawab akan perbuatan guru di sekolah yang dipimpinnya.
Kekerasan terhadap siswa dan rendahnya kualitas pendidikan bisa jadi karena kurangnya pengawasan dan lemahnya kemampuan manajerial kepala sekolah, termasuk dalam melakukan pembimbingan dan evaluasi terhadap guru-guru di sekolahnya. Kehadiran komite sekolah seharusnya dapat menghindarkan praktik-praktik kekerasan di sekolah oleh para guru, karena dasar pendirian komite sekolah adalah komitmen dan loyalitas serta kepedulian masyarakat terhadap peningkatan kualitas sekolah.
Masyarakat mesti paham salah satu fungsi komite adalah melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
Jika fungsi ini sudah berjalan, dan kekerasan dalam pendidikan sangat ditentang oleh masyarakat, maka peristiwa di SMP Negeri 3 Babelan dan di sebuah SD di Yogyakarta mestinya tidak terjadi. Jika akhirnya terjadi kekerasan terhadap murid, kepala sekolah harus melakukan evaluasi ulang terhadap kemampuan guru dalam mengajar serta bagaimana caranya menghadapi sifat dan perilaku murid-murid yang beraneka macam. Lepas, apakah peristiwa tersebut diketahui atau tidak oleh orangtua murid, komite sekolah, atau media.
Kekerasan terhadap murid menunjukkan bahwa transparansi pendidikan dalam satuan sekolah masih sebatas pada transparansi dana. Untuk itu masih sangat dibutuhkan peran dan kepedulian masyarakat untuk mendorong transparansi kualitas dan sistem pembelajaran di setiap satuan sekolah, khususnya bagi orangtua yang menyekolahkan anaknya di satuan sekolah yang bersangkutan. Salah satu caranya adalah menumbuhkan budaya dialog secara rutin, tidak hanya saat pendaftaran siswa baru atau saat mengambil buku rapor. Orangtua dituntut aktif bertanya kepada anak-anak tentang kegiatan dan sejauh mana aktivitas serta perkembangan belajar mengajar di sekolah. Tidak hanya sebatas menanyakan hasil-hasil ulangan.
KEKERASAN adalah salah satu bentuk budaya primitif yang ingin dihilangkan lewat pendidikan. Jika pendidikan tetap mengajarkan bentuk-bentuk kekerasan, maka pendidikan kita tidak ubahnya mendidik siswa menjadi orang-orang yang primitif, yang suka bertindak kasar, gampang marah, dan mudah membenci orang tanpa alasan yang jelas.
Warna kekerasan dalam pendidikan kita mencerminkan kurangnya ajaran kasih sayang dalam setiap proses pembelajaran di dalam kelas. Guru cenderung meletakkan siswa sebagai obyek, bukan subyek; bukan pribadi-pribadi yang memiliki kekhasan yang patut dihargai, tetapi malah diseragamkan lewat bahasa "disiplin".
Eko Indarwanto Pemerhati Masalah Pendidikan, Alumnus UGM

Kamis, 12 Maret 2009

JENIS-JENIS PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH OLEH :AIS RAY


JENIS – JENIS PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH

OLEH : AIS RAY

Sebelum membahas jenis – jenis pendidikan luar sekolah, alangkah baiknya kita membahas pengertian Pendidikan Luar Sekolah.
A. Pengertian Pendidikan Luar Sekolah
Dari beberapa ahli pendidikan, pengertian pendidikan luar sekolah dapat diartikan sebagai berikut:

  • Menurut Komunikasi Pembaruan Nasional Pendidikan, pendidikan luar sekolah adalah setiasp kesempatan dimana terdapat komunikasi yang teratue dan terarah diluar sekolah dan seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan maupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan kehidupan dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan.

Menurut PhilipsH. Combs mengungkapkan bahwa pendidikan luar sekolah adalah setiap kegiatan pendidikan yang terorganisir yang diselenggarakan diluar sistem formal baik tersendiri maupun merupakan bagian dari suatu kegiatan yang luas, yang dimaksudkan untuk memberikan layanan kepada sasaran didik terentu dalam rangka mencapai tujuan – tujuan belajar.

B. Jenis – jenis pendidikan luar sekolah
Jenis-jenis pendidikan yang ada pada PLS, menurut D. Sudjana (1996:44) di antaranya adalah:
1. Pendidikan Massa (Mass education)
Pendidikan massa yaitu kesempatan pendidikan yang diberikan kepada masyarakat luas dengan tujuan yaitu membantu masyarakat agar mereka memiliki kecakapan dalam hal menulis, membaca dan berhitung serta berpengetahuan umum yang diperlukan dalam upaya peningkatan taraf hidup dan kehidupannya sebagai warga negara.
Istilah Mass education menunjukan pada aktifitas pendidikan di masyarakat yang sasarannya kepada individu-individu yang mengalami keterlantaran pendidikan, yaitu individu yang tidak berkesempatan memperoleh pendidikan melalui jalur sekolah, tetapi putus di tengah jalan dan belum sempat terbebas dari kebuta-hurufan. Mass education ini dapat dikatakan semacam program pemberantasan buta huruf atau program keaksaraan, tentu saja tidak bertujuan supaya orang-orang didiknya sekedar bisa baca-tulis, tetapi juga supaya memperoleh pengetahuan umum yang relevan bagi keperluan hidupnya sehari-hari. Individu yang menjadi sasarannya adalah pemuda-pemuda dan orang dewasa. Pelaksanaannya melalui kursus-kursus.
Pendidikan semacam ini pernah diselenggarakan di Togoland dan Gold Cost dan ditujukan untuk mendidik calon – calon pemimpin masyarakay yang diharapkan sebagai motor penggerak usaha – usaha atau kegiatan di masyarakat.
2. Pendidikan Orang Dewasa (Adult Education)
Pendidikan orang dewasa yaitu pendidikan yang disajikan untuk membelajarkan orang dewasa. Dalam salah satu bukunya tentang PLS, Sudjana (1996:45) menerangkan bahwa pendidikan orang dewasa adalah pendidikan yang diperuntukan bagi orang-orang dewasa dalam lingkungan masyarakatnya, agar mereka dapat mengembangkan kemampuan, memperkaya pengetahuan, meningkatkan kualifikasi teknik dan profesi yang telah dimilikinya, memperoleh cara-cara baru serta merubah sikap dan perilakunya.

Pendidikan ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:


  1. Pendidikan Lanjutan
    Pendidikan lanjutan adalah kegiatan yang ditujukan kepada masyarakat yang perlu mendapatkan pendidikan secukupnya menjelang kedewasaan dengan memberi satu keahlian ataupun pengetahuan yang bersifat umum agar kelak dipakai sebagai alat pencarian nafkah.


  2. Pendidikan Pembaruan
    Pendidikan pembaruan adalah kegiatan pendidikan yang utama ditunjukkan kepada orang – orang yang sudah melampaui masa muda. Pendidikan ini terutama untuk memperoleh kedudukan dalam kerja.


  3. Pendidikan Kader Organisasi
    Adalah kegiatan yang berupa latihan atau kursus – kursus yang diselenggarakan oleh organisasi ataupun perkumpulan baik dalam lapangan politik, ekonomi dan hiburan.


  4. Pendidikan Populer
    Adalah kegiatan yang ditujukan pada semua orang agar dapat memanfaatkan waktu senggangnya dengan sebaik – baiknya, dengan memberikan aktivitas tertentu yang berguna baginya.


3. Pendidikan Perluasan (Extension Education)
Secara umum diartikan sebagai kegiatan pendidikan yang dilaksanakan diluar lingkungan sekolah biasa, diselenggarakan oleh perguruan tinggi untuk mengimbangi hasrat masyarakat yang ingin menjadi peserta aktif dalam pergolakan zaman.
Kegiatan yang diselenggarakan PLS Adalah meliputi seluruh kegiatan pendidikan baik yang dilaksanakan diluar sistem pendidikan sekolah yang dilembagakan ataupun tidak dilembagakan.Pendidikan luar sekolah dilaksanakan melalui kegiatan belajar – mengajar dan pendidikan keluarga merupakan bagiasn dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan didalam keluarga.


4. Pendidikan Masyarakat
Seperti dikemukakan R. A Sentosa pendidikan ini ditujukan kepada orang dewasa termasuk pemuda diluar bas umur tertinggi kewajiban belajar dan dilakukan diluar lingkunagan dan sistem pengajaran sekolah biasa.


5. Pendidikan Dasar..
Merupakan pendidikan sembilan tahun terdiri atas program pendidikan enam tahun di sekolah dasar dan program pendidikan tiga tahun di sekolah lanjutan tingkat pertama. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama terdiri dari dua jenis sekolah yang berbeda yaitu sekolah umum dan sekolah keterampilan. Pendidikan Dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah.
Pendidikan Dasar merupakan pendidikan wajib belajar yang memberikan para siswa dengan pengetahuan dan keterampilan. Sebagai tambahan pada pendidikan dasar, terdapat Madrasah Ibtidaiyah, yang setingkat dengan Sekolah Dasar dan Madrasah Tsanawiyah yang setingkat dengan sekolah Lanjutan Tingkat Pertama umum yang berada di bawah pengelolaan Departemen Agama.


6. Penyuluhan.
7. Pendidikan Seumur Hidup.
Dari beberapa ahli, pengertian pendidikan seumur hidup dapat dikemukakan yaitu :

  • Menurut Stephens, pendidikan seumur hidup adalah seluruh iindividu harus memiliki kesempatan yang sistematik disetiap kesempatan sepanjang hidup mereka.
  • Menurut Silva, pendidikan seumur hidup adalah proses pendidikan yang dilangsuungkan berguna untuk meningkatkan pendidikan sebelumnya, memperoleh keterampilan dan mengembangkan kepribadian.
  • Menurut Sistem pendidikan nasional terdiri dari tujuh jenis pendidikan luar sekolah yaitu :


1. Pendidikan Umum
Pendidikan umum merupakan pendidikan yang mengutamakan perluasan pengetahuan dan peningkatan keterampilan peserta didik dengan pengkhususan yang diwujudkan pada tingkat-tingkat akhir masa pendidikan.


2. Pendidikan Kejuruan
Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu.


3. Pendidikan Luar Biasa
Pendidikan luar biasa merupakan pendidikan yang khusus diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental.


4. Pendidikan Kedinasan
Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan yang berusaha meningkatkan kemampuan dalam pelaksanaan tugas kedinasan untuk pegawai atau calon pegawai suatu Departemen atau Lembaga Pemerintah Nondepartemen.


5. Pendidikan Keagamaan
Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan.


6. Pendidikan Akademik
Pendidikan akademik merupakan pendidikan yang diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan.


7. Pendidikan Profesional.
Pendidikan profesional merupakan pendidikan yang diarahkan terutama pada kesiapan penerapan keahlian tertentu.
Didalam UU sistem pendidikan nasional No. 20 tahun 2003 menyatkan bahwa jenis – jenis pendidikan luar sekolah adalah
Pendidikan kecakapan hidup ( Life skill education )
Pendidikan kepemudaan
Pendidikan anak usia dini ( PAUD )
Pendidikan pemberdayaan perempuan


8. Pendidikan keaksaraan
Jenis program pendidikan keaksaraan berhubungan dengan populasi sasaran yang belum dapat membaca dan menulis. Dulu program ini dikenal istilah pemberantasan buta huruf ( PBA ). Sekarang program keaksaraan terkenal dengan istilah kursus pengetahuan dasar ( KPD). Targetnya ialah terbebasnya populasi sasaran dari buta baca, buta tulis, buta pengetahuan umum dan buta bahasa indonesia .
Pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja
Pendidikan kesetaraan .
Pendidikan luar biasa.
Pendidikan keagamaan. Yang dapat mengembangkan kemampuan peserta didik.
Di dalam UU SPN NO 20 tahun 2003 juga dijelaskan satuan pendidikan non formal ataupun luar sekolah diantaranya :
Lembaga kursus.
Lembaga pelatihan
Kelompok belajar.
Pusat kegiatan masyarakat.
Majelis taklim.
Bimbingan les dan sebagainya.





DAFTAR PUSTAKA
Faisal Sanapiah. Pendidikan Luar Sekolah di Dalam Sistem Pendidikan dan Pembangunan Nasional, Surabaya : Usaha Nasional,1981
Joesoef Sulaiman. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah, Jakarta: Bumi Aksara, 2004
Shaleh Anwar. Dasar – dasar Pendidikan ( Jalur Sekolah dan Luar Sekolah ), Medan : CV. Jabal Rahmat, 1996
http://xipemai.wordpress.com/2008/04/18/makalah-ilmu-pendidikan-pendidikan-luar-sekolah/

http://andydoanx2525.blog.friendster.com/tag/jenis-pranata-pendidikan/

JENIS-JENIS PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH