Selasa, 21 April 2009

Kekerasan, Bahasa "Disiplin" ala Sekolah


Kekerasan terhadap murid tengah tumbuh menjadi citra baru tentang kekerasan dalam dunia pendidikan, yang diwakili oleh iklan penyelenggara jasa telepon seluler. Murid yang bersalah diharuskan menulis puluhan kali dan setelah itu berdiri dengan satu kaki di depan kelas, sementara kedua tangannya memegang telinga selama pelajaran berlangsung.
Citra pendidikan semacam itu adalah citra lama pendidikan di Tanah Air yang memberikan dampak kurang baik terhadap proses belajar-mengajar. Iklan itu mengulang cerita lama tentang sekolah zaman dulu, yang guru-gurunya gemar memberikan hukuman fisik kepada murid dengan cara lari mengelilingi halaman sekolah beberapa kali, membersihkan kamar mandi sekolah, atau memukuli jari-jari tangan murid dengan penggaris. Iklan tersebut memberikan kesempatan kepada guru untuk menemukan alasan pembenar terhadap hukuman fisik yang diberikan kepada muridnya.
Tiga siswa SMP Negeri 3 Babelan, Kabupaten Bekasi, yang dipukuli oleh teman-temannya sendiri-atas perintah guru wali kelasnya-karena tidak memakai badge identitas sekolah adalah realitas. Kasus kekerasan terhadap murid yang hampir serupa dengan yang dialami tiga siswa SMP Negeri 3 Babelan tersebut diyakini masih dipraktikkan oleh sebagian guru di berbagai pelosok di Tanah Air; tidak hanya di pedesaan, tetapi juga perkotaan. Apalagi sekolah-sekolah yang terletak di lingkungan sosial yang terlalu memercayakan penuh pendidikan kepada guru atau sekolah.
TERJADINYA kekerasan terhadap murid tidak lepas dari rendahnya bentuk pemahaman tentang kekerasan serta ketidakmampuan guru dalam menangkap dampak dari setiap kekerasan yang dilakukan.
Mestinya, sebagai seorang pendidik, guru memahami unsur-unsur negatif yang dibawa oleh perbuatan yang penuh dengan kekerasan. Mendisiplinkan murid sejak dini bagi murid SD, misalnya, tidak cukup dan tidak tepat dengan memberikan pekerjaan rumah yang jumlahnya lebih dari 75 soal. Atau menghukum murid kelas III SD dengan cara berdiri di depan kelas dengan mengangkat satu kaki dan kedua tangan memegang telinga, seperti yang terjadi di sebuah SD di Yogyakarta belum lama ini.
Hukuman-hukuman fisik semacam itu tidak akan membuat efek jera bagi siswa atau murid. Hukuman itu malah menumbuhkan perasaan benci dan tidak hormat kepada guru yang bersangkutan. Sebab, siswa memiliki kesempatan yang cukup luang untuk bercerita kepada teman-temannya tentang "kesuksesannya" membuat guru yang bersangkutan marah sekaligus merendahkannya dalam citra yang diceritakan oleh siswa bersangkutan kepada orang lain.
Fenomena semacam ini seharusnya dicermati oleh orangtua dan komite sekolah. Orangtua punya hak untuk mempertanyakan dan menyampaikan keberatan terhadap proses pendidikan dan ajaran yang tidak sesuai dengan napas pembelajaran. Sebab, sekolah bukan sarana untuk mengajari murid bagaimana menghukum dan mengadili orang-orang yang bersalah.
Kita semua sepakat bahwa kesalahan yang dilakukan oleh murid terkadang pantas mendapatkan hukuman. Namun, jenis hukuman itulah yang seharusnya disesuaikan dengan lingkungan sekolah sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran, bukan penghakiman apalagi pengasingan.
Kasus di SMP Negeri 3 Babelan tidak akan pernah menjadi pelajaran berharga bagi para guru jika pada akhirnya kesalahan hanya ditimpakan kepada guru yang bersangkutan. Seharusnya, kepala sekolah ikut bertanggung jawab akan perbuatan guru di sekolah yang dipimpinnya.
Kekerasan terhadap siswa dan rendahnya kualitas pendidikan bisa jadi karena kurangnya pengawasan dan lemahnya kemampuan manajerial kepala sekolah, termasuk dalam melakukan pembimbingan dan evaluasi terhadap guru-guru di sekolahnya. Kehadiran komite sekolah seharusnya dapat menghindarkan praktik-praktik kekerasan di sekolah oleh para guru, karena dasar pendirian komite sekolah adalah komitmen dan loyalitas serta kepedulian masyarakat terhadap peningkatan kualitas sekolah.
Masyarakat mesti paham salah satu fungsi komite adalah melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
Jika fungsi ini sudah berjalan, dan kekerasan dalam pendidikan sangat ditentang oleh masyarakat, maka peristiwa di SMP Negeri 3 Babelan dan di sebuah SD di Yogyakarta mestinya tidak terjadi. Jika akhirnya terjadi kekerasan terhadap murid, kepala sekolah harus melakukan evaluasi ulang terhadap kemampuan guru dalam mengajar serta bagaimana caranya menghadapi sifat dan perilaku murid-murid yang beraneka macam. Lepas, apakah peristiwa tersebut diketahui atau tidak oleh orangtua murid, komite sekolah, atau media.
Kekerasan terhadap murid menunjukkan bahwa transparansi pendidikan dalam satuan sekolah masih sebatas pada transparansi dana. Untuk itu masih sangat dibutuhkan peran dan kepedulian masyarakat untuk mendorong transparansi kualitas dan sistem pembelajaran di setiap satuan sekolah, khususnya bagi orangtua yang menyekolahkan anaknya di satuan sekolah yang bersangkutan. Salah satu caranya adalah menumbuhkan budaya dialog secara rutin, tidak hanya saat pendaftaran siswa baru atau saat mengambil buku rapor. Orangtua dituntut aktif bertanya kepada anak-anak tentang kegiatan dan sejauh mana aktivitas serta perkembangan belajar mengajar di sekolah. Tidak hanya sebatas menanyakan hasil-hasil ulangan.
KEKERASAN adalah salah satu bentuk budaya primitif yang ingin dihilangkan lewat pendidikan. Jika pendidikan tetap mengajarkan bentuk-bentuk kekerasan, maka pendidikan kita tidak ubahnya mendidik siswa menjadi orang-orang yang primitif, yang suka bertindak kasar, gampang marah, dan mudah membenci orang tanpa alasan yang jelas.
Warna kekerasan dalam pendidikan kita mencerminkan kurangnya ajaran kasih sayang dalam setiap proses pembelajaran di dalam kelas. Guru cenderung meletakkan siswa sebagai obyek, bukan subyek; bukan pribadi-pribadi yang memiliki kekhasan yang patut dihargai, tetapi malah diseragamkan lewat bahasa "disiplin".
Eko Indarwanto Pemerhati Masalah Pendidikan, Alumnus UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar